My
Experience in China
Tanggal 31 September 2013, pertama kalinya bagiku untuk
menginjakkan kaki di Beijing.. Kami tiba di Beijing International Airport
sekitar pukul 8 pagi waktu Beijing. Sungguh bandara yang sangat megah. Sesampainya
di bandara, kami menuju bagian imigrasi, dan ya… di luar bandara, kami sudah
ditunggu oleh para Liaison Officers
(LO) selama kami berada di China nanti, per grup. Grup satu, akan dipimpin oleh
seorang lelaki China berpostur tinggi, berkaca mata, berkulit putih, dan perutnya
agak gendut, lelaki itu bernama Ali. Nama Arab yang diberi oleh seorang guru
Bahasa Arabnya, orang Indonesia. Ali ini suka berbahasa Arab, kata Arab pertama
yang dia ucapkan kepada kami: Assalamu’alaikum.
Selain Ali, ada juga Vivian, wanita cantik
China berpostur tinggi seperti model. Yang menakjubkan lagi, dia sedang kuliah
PHd. Dahsyat… selanjutnya ada Miss Va, dan Miss Tiara. Miss Tiara adalah
seorang interpreter. Dia kuliah Linguistik di Universitas Indonesia. Nama
China-nya adalah Dan Dan. Dia sangat lancar berbahasa Indonesia, walau dengan
aksen China yang sangat kental. Dia kesulitan mengucapkan huruf T.
Di China, kami akan mengunjungi kota Beijing,
Guangzhou dan provinsi Anhui. Sesampainya di Kota Beijing, kami tidak langsung
menuju hotel tempat menginap, tap langsung menuju Beijing Exhibition Hall. Rasa kantuk, capek dan gerah langsung
berubah jadi takjub melihat keindahan kota Beijing. Kota Beijing ini sangat bersih dan rapi, tertata. Di
perjalanan menuju Beijing Exhibition Hall,
kami melihat beberapa bangunan bersejarah yang dipadati oleh para pengunjung,
sangat ramai, walau dalam cuaca yang panas dan cerah sekali.
Beijing Exhibition Hall
Beijing, kota yang memiliki perencanaan yang
sangat matang, di sini terpampang master plan kota Beijing. Tempat ini juga menggambarkan bagaimana China bisa mengatasi
krisis dunia pada tahun 2009, untuk menjadi negara kaya pada tahun 2020 nanti.
Ada sebuah relief kota Beijing yang terpampang di sebuah dinding di dalam
museum. Tempat ini juga memajang beberapa patung raja-raja, ilmuan,
arsitek dinasti-dinasti pada zaman dahulu.
Mencintai Sejarah
Bangunan bersejarah yang lain yang tentunya
sangat luar biasa adalah Forbidden City dan
the Great Wall. Ratusan orang
barangkali mengunjungi tempat ini setiap harinya. Forbidden city adalah sebuah kompleks kerajaan China pada masa
lalu. Dulu, tempat ini tidak boleh dikunjungi, namun sekarang tempat ini
menjadi salah satu tempat wisata sejarah yang sangat digemari di China,
tepatnya di kota Beijing. Perjalanan ke China tentunya tidaklah pas kalau tidak
menginjakkan kaki di The Great Wall,
tembok besar China. Barangkali beberapa orang berpikir tentang tembok, apa
hebatnya? Tetapi kawan, sungguh tembok ini benar-besar besar dan panjang.
Terbentang luas di bebukitan yang hijau, dihiasi oleh beberapa bangunan khas
China. Setiap tangganya dipenuhi oleh turis domestik maupun mancanegara yang
berjejal ingin mendaki tembok yang dibangun pada masa dinasti… ini.
Communication Center dan Center
for Network, Film and Television of Communist Youth League of China
Pada 2
September 2013 pukul 10.12 pagi waktu China, kami tiba di Communication Center. Ini adalah pusat kegiatan bagi orang dewasa
termasuk juga orang-orang yang difable.
Beberapa kegiatan yang dilakukan disini misalnya latihan menari tajin (kipas)
bagi wheelchair user, latihan
kepekaan indera dan anggota tubuh untuk disable,
kerajinan tangan, perpustakaan, latihan melukis bagi orang tua, ruang teater,
bahkan ada ruang gym. Pada kesempatan ini, kami diajak menari bersama ibu-ibu
usia lanjut dengan iringan lagu Rasa
Sayang Sayange.
Pada
siang harinya kami ke Center for Network, Film and Television of Communist
Youth League of China. Ini adalah pusat Network, Perfilman dan Televisi Liga
Pemuda Komunis China. Nama dari media ini adalah Youth China. Mayoritas yang
bekerja di sini adalah pemuda. Di dinding-dinding kantor banyak dipajang
foto-toto kegiatan, bahkan kata-kata motivasi untuk semangat bekerja dari
Presiden. Para pekerja disini membuat media informasi yang dibutuhkan oleh
anak-anak, remaja dan orang dewasa di China. Seperti diketahui, di China,
perkembangan dunia informasi diproteksi oleh pemerintah. Misalnya untuk
penggunaan media social seperti Facebook dan Twitter tidak bisa diakses di
negara China.
Pedagang Asongan
Ada juga ternyata kaki lima dan pedagang asongan. Aku kira
pedagang kaki lima hanya ada di Indonesia, ternyata di Beijing juga ada. Pasar
malam juga ada di Guangzhou. Orang-orang makan-makan di jajanan malam seperti
yang terdapat di seputaran Alun-alun taman merdeka, Pangkalpinang. Pedagang
asongan juga ramai di sebuah tempat festival di Beijing. Beberapa dari
meneriakkan dagangan mereka, “Air, air… “, mungkin begitu. Aku juga melihat ada
lelaki tua yang memikul dagangannya di kayu. Oh ya, di depan hotel Tailong, ada
bapak-bapak yang jualan buah-buahan pake jas, keren kan?
Makan Besar
Selama di China, biasanya kami makan siang di
restoran muslim. Satu meja makan idealnya diisi oleh sepuluh orang. Bukan meja
biasa, tapi meja bertingkat dua yang bisa diputar bagian atasnya. Alat-alat
makan berupa sumpit, piring, sendok tebal kecil dan mangkuk sudah tersedia di
atas meja. Lauk pauk berdatangan satu per satu. Entah itu, daging, sayur maupun
sup. Tiap orang jika ingin mengambil makanan, maka harus menunggu giliran,
bersabar, tidak ada sendok yang disediakan di atas lauk pauk, tetapi cukup
dengan menggunakan sumpit atau sendok yang telah disediakan di meja
masing-masing.
Bagi lidah Indonesia, makanan di beberapa
restoran umum terlihat aneh dan tentunya rasanya. Hal yang tidak menipu lidah
biasanya adalah udang, ayam goreng dan ikan. Makanan-makanan yang demikian
biasanya jarang menipu. Oh ya, ada sup aneh di restoran kota Hefei, sup kental
berhias meses, baru kali ini lihat sup kental yang dibubuhi meses warna warni.
Ketika salah satu teman mencicip, uih.. manis-manis gimana.. gitu. Mayoritas
sup di China biasanya memang kental. Tapi memang sup meses itu yang paling unik
tampilannya.
Orang Indonesia mayoritas,
seberapa enak apapun lauk pauknya kalau belum ada nasi belum pas rasanya. Pengalaman
menunggu nasi kerap kami rasakan ketika makan di restoran. “Oh alah… belum
datang juga.” Mau bilang rice tapi si
waitress nggak ngerti. Kami harus
bilang fa (nasi dalam bahasa
Mandarin) dengan sangat fasih. Akhirnya keluar juga tuh nasi, padahal lauk udah
pada mau habis. Hm… air putih juga jarang tampil, yang ada adalah soft drink. Ketika kami meminta air
putih, yang selalu keluar adalah air panas. Nggak tahu deh apa maksudnya. Above all, kami selalu menikmati
saat-saat makan di China. Kami juga terkesima dengan filosofi makan bersama
dalam tradisi China. Ketika makan, kita diajarkan tentang kebersamaan,
kesabaran, dan kekeluargaan.
Fun Shopping
2 September 2013, kami berkunjung ke sebuah pasar
yang besar. Orang-orang dari berbagai negara berkunjung ke tempat ini. Pasar
ini bernama Xiushui market, merupakan pasar murah yang ada di Beijing. Awal
kedatangan kami ke tempat perbelanjaan ini kami dikejutkan dengan banyaknya
orang-orang dari negara Asia lainnya misalnya Pakistan dan beberapa orang Arab
lainnya yang juga mengunjungi pasar ini. Ada juga beberapa orang berwajah West.
Ketika memasuki pasar, para penjual langsung menyambut kami, memakai bahasa
Indonesia. “Mura, mura, mura.”
Katanya, orang China
dilarang menemani orang Asing untuk berbelanja disini karena orang China tahu
bahwa harga-harga barang di sini sebenarnya murah dan sengaja dimahalkan untuk
para pendatang. Semakin masuk ke dalam seluk beluk pasar, semakin menarik untuk
melakukan tawar menawar dengan pedagang.
Lantai pertama dipenuhi
dengan pakaian, ketika ditanya, mahal-mahal juga, ratusan Yuan. Apaan katanya
murah-murah. Di lantai pertama kami belum merasakan asyiknya belanja. Hm… aduh…
beli apa ni.. ketika lama sekedar jalan-jalan melihat-lihat, kami bertemu
dengan istri duta besar Indonesia untuk China, dan beliau membawa kami ke
tempat dimana souvenir-souvenir murah. Kami pun mengikuti beliau dan mulai
melancarkan aksi.
Keunikan berbelanja mulai
tampak ketika lama kami amati beberapa orang Hitam besar tinggi sedang tawar
menawar dengan si penjual dasi. Penjualnya teriak-teriak, dan kemudian para
lelaki itu keluar dari toko dasi itu dan si penjual teriak, “Come here, how much you want?“. Para
lelaki itu kembali lagi dan tawar menawar lagi dengan si penjual. Akhirnya
setelah lama tawar-menawar, si penjual bilang Yes or No?! sepertinya yes. Salah
satu dari temanku juga mengalami hal tersebut.
Yang lebih menyeramkan lagi
ketika ku lihat seorang laki-laki berwajah Western
sedang berbelanja, apa yang mereka sebenarnya ucapkan aku tidak begitu tahu,
tapi dari intonasi suara penjual dan raut mukanya sepertinya mereka bertengkar,
kemudian laki-laki itu menjauh dan bertemu dengan pacarnya yang berwajah China,
mereka pun kembali ke toko itu dan kembali berinteraksi, teriak-teriak dan
marah-marah kemudian mereda. Atau mungkin gayanya aja ya? Tidak aku mengerti.
Di sini memang harga barang
dinaikkan sedemikian tingginya oleh penjual. Di toko lain bisa jadi satu
lukisan berharga 20 Yuan (IDR 1 Yuan: Rp.1800), di tempat lain bisa jadi 10
Yuan. Dan perlu rayuan untuk meluluhkan hati si penjual. Atau dia akan
bersikeras. Tapi ada juga penjual yang memiliki rayuan hebat, tidak pakai
marah-marah. Satu gantungan kunci yang mulanya bernilai 30 Yuan bisa jatuh ke
15 Yuan. Pengalaman yang lain yang lebih mencengangkan aku adalah dari cerita
seorang teman cowok yang berbelanja baju kaos Beijing. Awal mula ketika dia
bertanya harga kaos tersebut adalah 300 Yuan. Oh my God! Gimana nawarnya nih?? Masak satu kaos aja berharga
segitu? Dengan bekal dari teman, cukup kurangi nolnya aja satu, dia mulai
beraksi menawar hingga dia dapatkan 17 Yuan per kaos. Hua…. Asyik…
Exchange with Anhui University Students
Di universitas Anhui, salah
satu provinsi di China inilah kami benar-benar merasakan yang namanya
pertukaran pemuda. Disini kami pertama kali datang langsung disambut di sebuah
museum universitas. Beberapa mahasiswa jurusan bahasa Inggris menjadi guide-nya. Mereka berbicara bahasa
Inggris sangat fasih. Mereka menceritakan sejarah berdirinya kampus dan
perkembangannya. Di kampus ini, kami berkesempatan untuk melihat pertunjukkan
kungfu, nyanyian Mandarin dan exchange
culture dengan beberapa mahasiswa disana. Beberapa dari kami juga
menampilkan kesenian Indonesia, yaitu Tari Kecak, Pencak Silat dan Tari
Poco-poco.
Chinese Art Paper Park
Chinese art paper ini
terletak di provinsi Anhui. Park ini merupakan tempat pembuatan kertas
tradional yang biasa digunakan untuk melukis, membuat kipas. Kertas ini terbuat
dari campuran antara jerami padi dan pohon Pteroceltis
Tatarinowii. Alat-alat yang digunakan untuk membuat kertas ini masih
tradisional dan dikelola oleh masyarakat setempat. Para lelaki paruh baya
terlihat sedang bekerja. Tiap ruang kerja minimal dikerjakan oleh 1 orang, dan
maksimal yang terlihat ada lima orang. Butuh kesabaran dan ketelitian untuk
memproses pembuatan kertas ini.
Malam terakhir di China
Hari-hari terakhir di China berakhir di Kota Guangzhou. Pada malam
hari setelah farewell banquet. Farewell banquet diselenggrakan di
restoran hotel Bostan tempat kami menginap selama di Guangzhou. Di malam
perpisahan, dua group menampilkan
penampilan seni. Kelompok ku menampilkan Pencak Silat yang kemudian disusul
dengan Tari Saman. Aku ikut menari Saman. Kami menari dengan mengenakan baju
tradisional dari provinsi masing-masing. Ada sebuah bangsal yang tersedia di
dalam restoran hotel ini. Acara perpisahan berakhir dengan sesi foto bersama.
Setelah farewell
banquet, aku bersama empat orang temanku, cewek semua, ingin belanja
oleh-oleh lagi, mengingat oleh-oleh kami masih sangat kurang. Sampai di lobby
hotel, ternyata kami ketinggalan rombongan yang lain, maklum saja soalnya sudah
di atas jam 9. Akhirnya kami hanya duduk-duduk di lobby sambil berpikir apa yan
gharus dilakukan. Kami memutuskan untuk jalan-jalan di luar hotel, hingga
akhirnya kami bertemu dengan dua orang pemuda yang sedang nongkrong di pinggir
jalan. Salah satu dari mereka memakai topi, berambut sedikit gondrong duduk di
sebuah kursi, sedang memegang gitar dan di depannya sebuah standing microfon. Sementara yang satunya lagi cowok plontos duduk
lesehan. Kami menghampiri mereka. Kami bertanya ke salah satu dari mereka yang
duduk di bawah. “Speak English?” Yes, jawabnya. Wah kami senang sekali. Namanya
Leon. Seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Guangzhou. Susah lo
ketemu dengan orang bisa berbicara bahasa Inggris. Kami pun mengobrol santai
dan temanku meminta lelaki yang satu lagi untuk bernyanyi. Sungguh menyenangkan
bisa ngobrol santai dengan pemuda ini, ditemani alunan gitar dan suara merdu,
di tengah kota Guangzhou. Leon yang merupakan mahasiswa jurusan bisnis ini bilang pada kami bahwa ekonomi China memang sedang
menanjak hebat, tapi tidak seiring dengan kemajuan pendidikan, katanya. Terjadi
degradasi dalam dunia pendidikan katanya. Hm… itu katanya lo… apa yang terlihat
tidak seperti yang sebenarnya katanya. Tapi, buat kami China tetap luar biasa.
Dia tetap saja tidak puas dengan jawaban kami. J