Tuesday, October 1, 2013

My Experience in China

My Experience in China
Tanggal 31 September 2013, pertama kalinya bagiku untuk menginjakkan kaki di Beijing.. Kami tiba di Beijing International Airport sekitar pukul 8 pagi waktu Beijing. Sungguh bandara yang sangat megah. Sesampainya di bandara, kami menuju bagian imigrasi, dan ya… di luar bandara, kami sudah ditunggu oleh para Liaison Officers (LO) selama kami berada di China nanti, per grup. Grup satu, akan dipimpin oleh seorang lelaki China berpostur tinggi, berkaca mata, berkulit putih, dan perutnya agak gendut, lelaki itu bernama Ali. Nama Arab yang diberi oleh seorang guru Bahasa Arabnya, orang Indonesia. Ali ini suka berbahasa Arab, kata Arab pertama yang dia ucapkan kepada kami: Assalamu’alaikum.
Selain Ali, ada juga Vivian, wanita cantik China berpostur tinggi seperti model. Yang menakjubkan lagi, dia sedang kuliah PHd. Dahsyat… selanjutnya ada Miss Va, dan Miss Tiara. Miss Tiara adalah seorang interpreter. Dia kuliah Linguistik di Universitas Indonesia. Nama China-nya adalah Dan Dan. Dia sangat lancar berbahasa Indonesia, walau dengan aksen China yang sangat kental. Dia kesulitan mengucapkan huruf T.
Di China, kami akan mengunjungi kota Beijing, Guangzhou dan provinsi Anhui. Sesampainya di Kota Beijing, kami tidak langsung menuju hotel tempat menginap, tap langsung menuju Beijing Exhibition Hall. Rasa kantuk, capek dan gerah langsung berubah jadi takjub melihat keindahan kota Beijing. Kota Beijing ini sangat bersih dan rapi, tertata. Di perjalanan menuju Beijing Exhibition Hall, kami melihat beberapa bangunan bersejarah yang dipadati oleh para pengunjung, sangat ramai, walau dalam cuaca yang panas dan cerah sekali.

Beijing Exhibition Hall
Beijing, kota yang memiliki perencanaan yang sangat matang, di sini terpampang master plan kota Beijing. Tempat ini juga menggambarkan bagaimana China bisa mengatasi krisis dunia pada tahun 2009, untuk menjadi negara kaya pada tahun 2020 nanti. Ada sebuah relief kota Beijing yang terpampang di sebuah dinding di dalam museum. Tempat ini juga memajang beberapa patung raja-raja, ilmuan, arsitek dinasti-dinasti pada zaman dahulu.



Mencintai Sejarah
Museum adalah tempat yang paling banyak kami kunjungi selama di China. Dimulai dari museum Nasional China, museum kebudayaan, Museum Anhui, dan terakhir museum Guangzhou. Selama berkunjung ke museum, kami dibuat kagum oleh luar biasanya peradaban China yang terjaga sampai sekarang. Bagaimana antusiasnya penduduk mengunjungi museum. Di Guangzhou bahkan museum berada tidak jauh dari Children Palace, sebuah pusat kegiatan ekstrakulikuler untuk anak-anak di kota Guangzhou.
Bangunan bersejarah yang lain yang tentunya sangat luar biasa adalah Forbidden City dan the Great Wall. Ratusan orang barangkali mengunjungi tempat ini setiap harinya. Forbidden city adalah sebuah kompleks kerajaan China pada masa lalu. Dulu, tempat ini tidak boleh dikunjungi, namun sekarang tempat ini menjadi salah satu tempat wisata sejarah yang sangat digemari di China, tepatnya di kota Beijing. Perjalanan ke China tentunya tidaklah pas kalau tidak menginjakkan kaki di The Great Wall, tembok besar China. Barangkali beberapa orang berpikir tentang tembok, apa hebatnya? Tetapi kawan, sungguh tembok ini benar-besar besar dan panjang. Terbentang luas di bebukitan yang hijau, dihiasi oleh beberapa bangunan khas China. Setiap tangganya dipenuhi oleh turis domestik maupun mancanegara yang berjejal ingin mendaki tembok yang dibangun pada masa dinasti… ini.
Communication Center dan Center for Network, Film and Television of Communist Youth League of China
Pada 2 September 2013 pukul 10.12 pagi waktu China, kami tiba di Communication Center. Ini adalah pusat kegiatan bagi orang dewasa termasuk juga orang-orang yang difable. Beberapa kegiatan yang dilakukan disini misalnya latihan menari tajin (kipas) bagi wheelchair user, latihan kepekaan indera dan anggota tubuh untuk disable, kerajinan tangan, perpustakaan, latihan melukis bagi orang tua, ruang teater, bahkan ada ruang gym. Pada kesempatan ini, kami diajak menari bersama ibu-ibu usia lanjut dengan iringan lagu Rasa Sayang Sayange.
Pada siang harinya kami ke Center for Network, Film and Television of Communist Youth League of China. Ini adalah pusat Network, Perfilman dan Televisi Liga Pemuda Komunis China. Nama dari media ini adalah Youth China. Mayoritas yang bekerja di sini adalah pemuda. Di dinding-dinding kantor banyak dipajang foto-toto kegiatan, bahkan kata-kata motivasi untuk semangat bekerja dari Presiden. Para pekerja disini membuat media informasi yang dibutuhkan oleh anak-anak, remaja dan orang dewasa di China. Seperti diketahui, di China, perkembangan dunia informasi diproteksi oleh pemerintah. Misalnya untuk penggunaan media social seperti Facebook dan Twitter tidak bisa diakses di negara China.

Pedagang Asongan
Ada juga ternyata kaki lima dan pedagang asongan. Aku kira pedagang kaki lima hanya ada di Indonesia, ternyata di Beijing juga ada. Pasar malam juga ada di Guangzhou. Orang-orang makan-makan di jajanan malam seperti yang terdapat di seputaran Alun-alun taman merdeka, Pangkalpinang. Pedagang asongan juga ramai di sebuah tempat festival di Beijing. Beberapa dari meneriakkan dagangan mereka, “Air, air… “, mungkin begitu. Aku juga melihat ada lelaki tua yang memikul dagangannya di kayu. Oh ya, di depan hotel Tailong, ada bapak-bapak yang jualan buah-buahan pake jas, keren kan?

Makan Besar
Selama di China, biasanya kami makan siang di restoran muslim. Satu meja makan idealnya diisi oleh sepuluh orang. Bukan meja biasa, tapi meja bertingkat dua yang bisa diputar bagian atasnya. Alat-alat makan berupa sumpit, piring, sendok tebal kecil dan mangkuk sudah tersedia di atas meja. Lauk pauk berdatangan satu per satu. Entah itu, daging, sayur maupun sup. Tiap orang jika ingin mengambil makanan, maka harus menunggu giliran, bersabar, tidak ada sendok yang disediakan di atas lauk pauk, tetapi cukup dengan menggunakan sumpit atau sendok yang telah disediakan di meja masing-masing.
Bagi lidah Indonesia, makanan di beberapa restoran umum terlihat aneh dan tentunya rasanya. Hal yang tidak menipu lidah biasanya adalah udang, ayam goreng dan ikan. Makanan-makanan yang demikian biasanya jarang menipu. Oh ya, ada sup aneh di restoran kota Hefei, sup kental berhias meses, baru kali ini lihat sup kental yang dibubuhi meses warna warni. Ketika salah satu teman mencicip, uih.. manis-manis gimana.. gitu. Mayoritas sup di China biasanya memang kental. Tapi memang sup meses itu yang paling unik tampilannya.
Orang Indonesia mayoritas, seberapa enak apapun lauk pauknya kalau belum ada nasi belum pas rasanya. Pengalaman menunggu nasi kerap kami rasakan ketika makan di restoran. “Oh alah… belum datang juga.” Mau bilang rice tapi si waitress nggak ngerti. Kami harus bilang fa (nasi dalam bahasa Mandarin) dengan sangat fasih. Akhirnya keluar juga tuh nasi, padahal lauk udah pada mau habis. Hm… air putih juga jarang tampil, yang ada adalah soft drink. Ketika kami meminta air putih, yang selalu keluar adalah air panas. Nggak tahu deh apa maksudnya. Above all, kami selalu menikmati saat-saat makan di China. Kami juga terkesima dengan filosofi makan bersama dalam tradisi China. Ketika makan, kita diajarkan tentang kebersamaan, kesabaran, dan kekeluargaan.

Fun Shopping
2 September 2013, kami berkunjung ke sebuah pasar yang besar. Orang-orang dari berbagai negara berkunjung ke tempat ini. Pasar ini bernama Xiushui market, merupakan pasar murah yang ada di Beijing. Awal kedatangan kami ke tempat perbelanjaan ini kami dikejutkan dengan banyaknya orang-orang dari negara Asia lainnya misalnya Pakistan dan beberapa orang Arab lainnya yang juga mengunjungi pasar ini. Ada juga beberapa orang berwajah West. Ketika memasuki pasar, para penjual langsung menyambut kami, memakai bahasa Indonesia. “Mura, mura, mura.”
Katanya, orang China dilarang menemani orang Asing untuk berbelanja disini karena orang China tahu bahwa harga-harga barang di sini sebenarnya murah dan sengaja dimahalkan untuk para pendatang. Semakin masuk ke dalam seluk beluk pasar, semakin menarik untuk melakukan tawar menawar dengan pedagang.
Lantai pertama dipenuhi dengan pakaian, ketika ditanya, mahal-mahal juga, ratusan Yuan. Apaan katanya murah-murah. Di lantai pertama kami belum merasakan asyiknya belanja. Hm… aduh… beli apa ni.. ketika lama sekedar jalan-jalan melihat-lihat, kami bertemu dengan istri duta besar Indonesia untuk China, dan beliau membawa kami ke tempat dimana souvenir-souvenir murah. Kami pun mengikuti beliau dan mulai melancarkan aksi.
Keunikan berbelanja mulai tampak ketika lama kami amati beberapa orang Hitam besar tinggi sedang tawar menawar dengan si penjual dasi. Penjualnya teriak-teriak, dan kemudian para lelaki itu keluar dari toko dasi itu dan si penjual teriak, “Come here, how much you want?“. Para lelaki itu kembali lagi dan tawar menawar lagi dengan si penjual. Akhirnya setelah lama tawar-menawar, si penjual bilang Yes or No?! sepertinya yes. Salah satu dari temanku juga mengalami hal tersebut.
Yang lebih menyeramkan lagi ketika ku lihat seorang laki-laki berwajah Western sedang berbelanja, apa yang mereka sebenarnya ucapkan aku tidak begitu tahu, tapi dari intonasi suara penjual dan raut mukanya sepertinya mereka bertengkar, kemudian laki-laki itu menjauh dan bertemu dengan pacarnya yang berwajah China, mereka pun kembali ke toko itu dan kembali berinteraksi, teriak-teriak dan marah-marah kemudian mereda. Atau mungkin gayanya aja ya? Tidak aku mengerti.
Di sini memang harga barang dinaikkan sedemikian tingginya oleh penjual. Di toko lain bisa jadi satu lukisan berharga 20 Yuan (IDR 1 Yuan: Rp.1800), di tempat lain bisa jadi 10 Yuan. Dan perlu rayuan untuk meluluhkan hati si penjual. Atau dia akan bersikeras. Tapi ada juga penjual yang memiliki rayuan hebat, tidak pakai marah-marah. Satu gantungan kunci yang mulanya bernilai 30 Yuan bisa jatuh ke 15 Yuan. Pengalaman yang lain yang lebih mencengangkan aku adalah dari cerita seorang teman cowok yang berbelanja baju kaos Beijing. Awal mula ketika dia bertanya harga kaos tersebut adalah 300 Yuan. Oh my God! Gimana nawarnya nih?? Masak satu kaos aja berharga segitu? Dengan bekal dari teman, cukup kurangi nolnya aja satu, dia mulai beraksi menawar hingga dia dapatkan 17 Yuan per kaos. Hua…. Asyik…
Exchange with Anhui University Students
Di universitas Anhui, salah satu provinsi di China inilah kami benar-benar merasakan yang namanya pertukaran pemuda. Disini kami pertama kali datang langsung disambut di sebuah museum universitas. Beberapa mahasiswa jurusan bahasa Inggris menjadi guide-nya. Mereka berbicara bahasa Inggris sangat fasih. Mereka menceritakan sejarah berdirinya kampus dan perkembangannya. Di kampus ini, kami berkesempatan untuk melihat pertunjukkan kungfu, nyanyian Mandarin dan exchange culture dengan beberapa mahasiswa disana. Beberapa dari kami juga menampilkan kesenian Indonesia, yaitu Tari Kecak, Pencak Silat dan Tari Poco-poco.
Chinese Art Paper Park
Chinese art paper ini terletak di provinsi Anhui. Park ini merupakan tempat pembuatan kertas tradional yang biasa digunakan untuk melukis, membuat kipas. Kertas ini terbuat dari campuran antara jerami padi dan pohon Pteroceltis Tatarinowii. Alat-alat yang digunakan untuk membuat kertas ini masih tradisional dan dikelola oleh masyarakat setempat. Para lelaki paruh baya terlihat sedang bekerja. Tiap ruang kerja minimal dikerjakan oleh 1 orang, dan maksimal yang terlihat ada lima orang. Butuh kesabaran dan ketelitian untuk memproses pembuatan kertas ini. 
           
Malam terakhir di China
Hari-hari terakhir di China berakhir di Kota Guangzhou. Pada malam hari setelah farewell banquet. Farewell banquet diselenggrakan di restoran hotel Bostan tempat kami menginap selama di Guangzhou. Di malam perpisahan, dua  group menampilkan penampilan seni. Kelompok ku menampilkan Pencak Silat yang kemudian disusul dengan Tari Saman. Aku ikut menari Saman. Kami menari dengan mengenakan baju tradisional dari provinsi masing-masing. Ada sebuah bangsal yang tersedia di dalam restoran hotel ini. Acara perpisahan berakhir dengan sesi foto bersama.
Setelah farewell banquet, aku bersama empat orang temanku, cewek semua, ingin belanja oleh-oleh lagi, mengingat oleh-oleh kami masih sangat kurang. Sampai di lobby hotel, ternyata kami ketinggalan rombongan yang lain, maklum saja soalnya sudah di atas jam 9. Akhirnya kami hanya duduk-duduk di lobby sambil berpikir apa yan gharus dilakukan. Kami memutuskan untuk jalan-jalan di luar hotel, hingga akhirnya kami bertemu dengan dua orang pemuda yang sedang nongkrong di pinggir jalan. Salah satu dari mereka memakai topi, berambut sedikit gondrong duduk di sebuah kursi, sedang memegang gitar dan di depannya sebuah standing microfon. Sementara yang satunya lagi cowok plontos duduk lesehan. Kami menghampiri mereka. Kami bertanya ke salah satu dari mereka yang duduk di bawah. “Speak English?” Yes, jawabnya. Wah kami senang sekali. Namanya Leon. Seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Guangzhou. Susah lo ketemu dengan orang bisa berbicara bahasa Inggris. Kami pun mengobrol santai dan temanku meminta lelaki yang satu lagi untuk bernyanyi. Sungguh menyenangkan bisa ngobrol santai dengan pemuda ini, ditemani alunan gitar dan suara merdu, di tengah kota Guangzhou. Leon yang merupakan mahasiswa jurusan bisnis ini bilang  pada kami bahwa ekonomi China memang sedang menanjak hebat, tapi tidak seiring dengan kemajuan pendidikan, katanya. Terjadi degradasi dalam dunia pendidikan katanya. Hm… itu katanya lo… apa yang terlihat tidak seperti yang sebenarnya katanya. Tapi, buat kami China tetap luar biasa. Dia tetap saja tidak puas dengan jawaban kami. J